REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap aksi iklim dipertanyakan. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyoroti proses penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Menurut ARUKI, hingga pertengahan 2025, rancangan Second NDC belum tersedia untuk publik. Padahal, dokumen ini menjadi acuan utama dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lintas sektor.
Ketertutupan ini dinilai mempersempit ruang partisipasi masyarakat dan melemahkan akuntabilitas, terutama bagi kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim.
“Pelibatan publik yang minim, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, dan nelayan tradisional, jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas,” ujar Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul seperti dikutip dari pernyataan ARUKI, akhir pekan ini.
Torry menekankan pentingnya menjadikan suara kelompok rentan sebagai dasar kebijakan. Mereka memiliki pengetahuan lokal dan strategi adaptif yang terbukti memperkuat ketahanan komunitas. Namun, ARUKI menilai pemerintah justru berlindung di balik narasi ‘realistis’ untuk menurunkan ambisi iklim.
Bagi ARUKI, istilah ‘realistis’ berpotensi menjadi pembenaran untuk mengendurkan target penurunan emisi. Hal ini dipandang tidak sejalan dengan peran strategis Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terluas di dunia.
“Komitmen dalam dokumen Second NDC seharusnya tidak lebih lemah dari Enhanced NDC. Justru perlu diperkuat, terutama dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi ...