
Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan tarif resiprokal yang kembali diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal 2025 menjadi simbol bangkitnya kembali proteksionisme dalam perdagangan global. AS menerapkan tarif universal sebesar 10 persen atas seluruh impor dari semua negara, disertai tarif tambahan sebesar 25 hingga 54 persen terhadap mitra dagang yang menyumbang defisit tinggi bagi Amerika, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini tak hanya berdampak secara makro terhadap perdagangan internasional, tapi juga merembet hingga ke sistem keuangan, pasar modal, dan ekonomi domestik negara-negara berkembang. Indonesia, sebagai negara yang tengah membangun ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, menjadi salah satu pihak yang terdampak secara signifikan, baik langsung maupun tidak langsung.
Surplus yang Jadi Sasaran, Sektor Halal yang Paling Terpukul
Berdasarkan data CEIC dan OCE Bank Mandiri (2025), Indonesia masuk dalam daftar 15 negara penyumbang defisit perdagangan terbesar bagi AS dengan nilai defisit mencapai 19,3 miliar dolar AS pada tahun 2024. Imbasnya, Indonesia dikenai tarif sebesar 32 persen untuk komoditas ekspor utama seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki—sektor yang justru menjadi tulang punggung dari industri halal dan pelaku UMKM.
Menurut data Trademap (2025), sekitar 60 persen ekspor pakaian jadi dan 34 persen ekspor alas kaki Indonesia dikirim ke AS. Ketika tarif tinggi diberlakukan, maka daya saing produk halal Indonesia menurun tajam. UMKM sebagai pelaku utama menjadi pihak yang paling terdampak, bukan hanya dari sisi volume ekspor, tapi juga dari pelemahan...